Minggu, 11 September 2016

Menyembelih Egoisme, Merayakan Solidaritas**

Oleh : Haidar Nashir*

Musuh terbesar manusia adalah diri sendiri. Diri yang mengandung dan membesarkan ego, yang daya dorongnya dahsyat laksana magma memicu letusan gunung berapi. Diri yang sering kali menjelma menjadi musuh sesama, bahkan berseteru dengan akal budinya yang otentik. Diri yang terjebak dalam ta’bid ’an al-nafs, menjadikan tubuh dan jiwanya sebagai budak pesona dunia.

Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri di tengah relasi orang lain dan lingkungannya. Dalam bahasa kaum Freudian, konflik antara hasrat gratifikasi ego diri dan tertib sosial. Apakah dia menjadi pemenang seperti Habil atau pecundang pada diri Kabil? Kedua putra Adam Alaihi Salam itu memberi pelajaran awal tentang sejarah perang melawan diri dan sesama.

Pada titik dialektik antara hasrat dan kendali diri itulah sesungguhnya Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui peristiwa kurban pada Idul Adha mengajarkan mosaik rohaniah yang berharga. Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menaklukkan dirinya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki.